Dentingan gelas pecah
Ketika suara gelas pecah
berdenting kuat di telinga, hati pun ikut terbanting hingga terluka. Gelas pecah
selalu diidentikan dengan pertanda buruk, seolah ia adalah alarm bagi
orang-orang yang percaya akan hal tersebut. Memang denting tak pernah salah, tapi
setidaknya gelas yang pecah itu harus memberi alasan agar hati tak serasa badai
yang mengahantam tanpa permisi. Sayangnya, bukan firasat itu yang dipertanyakan.
Ini tentang gejolak rasa,
ketika semuanya terasa biasa-biasa saja, lalu dikejutkan seperti suara
dentingan gelas pecah, sakit, sakit, dan sakit, serpihan-serpihan kacanya
serasa menusuk, hingga merobek hati ini hingga hancur tak bersisa, karena
sebuah keegoisan dari yang tak mau mengerti.
Gelas kaca yang tampak mewah
dan indah saja, saat berada di pinggir meja, lalu kemudian tersentuh sedikit,
jatuhnya begitu mengenaskan hingga menghilangkan esensi mewahnya lagi, yang ada
hanyalah tinggal partikel-partikel kaca tergeletak tak berarti di lantai.
Sebuah
kepercayaan dibangun dengan pengharapan yang menjunjung tinggi nilai
kebersamaan, seketika pudar bersama rasa yang sudah terlanjur basah bagaikan
diiris sembilu ini. Tidak ada lagi keindahan dalam kebersamaan yang ada
hanyalah ketegangan.
Andai waktu bisa diputar,
mungkin pengharapan untuk sebuah alarm pencegah badai ingin dipasang, hingga ia
tak menjadi mimpi buruk dalam tidur, tapi dentingan suara gelas itu sudah
mengalir bersama kuatnya arus yang membawanya pada suatu batu besar dan
menahannya untuk tidak pergi dengan mudah, hati pun sudah mencoba untuk keluar
dari pusaran air yang terhalang batu, tapi sepertinya tidak berhasil. Maka hati
pun harus merelakan dan hanya bisa termenung dan sekali-kali mengingat suara
gelas pecah itu