Jumat, 04 Desember 2015

DENTINGAN GELAS PECAH


Dentingan gelas pecah
Ketika suara gelas pecah berdenting kuat di telinga, hati pun ikut terbanting hingga terluka. Gelas pecah selalu diidentikan dengan pertanda buruk, seolah ia adalah alarm bagi orang-orang yang percaya akan hal tersebut. Memang denting tak pernah salah, tapi setidaknya gelas yang pecah itu harus memberi alasan agar hati tak serasa badai yang mengahantam tanpa permisi. Sayangnya, bukan firasat itu yang dipertanyakan.

Ini tentang gejolak rasa, ketika semuanya terasa biasa-biasa saja, lalu dikejutkan seperti suara dentingan gelas pecah, sakit, sakit, dan sakit, serpihan-serpihan kacanya serasa menusuk, hingga merobek hati ini hingga hancur tak bersisa, karena sebuah keegoisan dari yang tak mau mengerti.

Gelas kaca yang tampak mewah dan indah saja, saat berada di pinggir meja, lalu kemudian tersentuh sedikit, jatuhnya begitu mengenaskan hingga menghilangkan esensi mewahnya lagi, yang ada hanyalah tinggal partikel-partikel kaca tergeletak tak berarti di lantai.

Sebuah kepercayaan dibangun dengan pengharapan yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan, seketika pudar bersama rasa yang sudah terlanjur basah bagaikan diiris sembilu ini. Tidak ada lagi keindahan dalam kebersamaan yang ada hanyalah ketegangan.

Andai waktu bisa diputar, mungkin pengharapan untuk sebuah alarm pencegah badai ingin dipasang, hingga ia tak menjadi mimpi buruk dalam tidur, tapi dentingan suara gelas itu sudah mengalir bersama kuatnya arus yang membawanya pada suatu batu besar dan menahannya untuk tidak pergi dengan mudah, hati pun sudah mencoba untuk keluar dari pusaran air yang terhalang batu, tapi sepertinya tidak berhasil. Maka hati pun harus merelakan dan hanya bisa termenung dan sekali-kali mengingat suara gelas pecah itu