Salahkah Senyum Ini?
Ketika hatiku
mulai bergetar sejak pertama melihatmu, aku tak mampu mengendalikan semua rasa
yang berkecamuk dalam dada. aku mulai memberanikan diri untuk tersenyum
padanya, berharap dia akan membalasnya. Tapi sejak saat itu juga untuk pertama
kalinya aku merasakan sakit hati, dia memalingkan wajahnya, bagikan tersengat
listrik, terinjak-injak gajah. Tapi dia juga orang yang tak bisa untuk
kulupakan, bertahun-tahun lamanya hatiku seperti tersiksa jika memikirkan waktu
di mana ia memalingkan wajahnya. Walau kucoba membawa hati ini berlayar jauh
darinya.
“Iba, Iba,
Ibaaaaa” Kila meneriakiku.
“Hah, ada
apa?” aku pun terkejut bukan main.
“Ngelamun
terus, lagi ngitung bintang ya. Hahaha. Bercanda aja kok. kamu ada masalah? “
ia duduk di sampingku di teras kos”
Aku tersenyum
kecil sambil menghela nafas.
“Baru kali ini
lihat kamu tersenyum, kalau boleh jujur ya, kamu tuh orang yang paling jarang
tersenyum dan kalau diperhatiin ngelamun kamu tuh udah kelewatan deh. Lama-lama
bisa jadi penyakit loh”
“Maaf, aku
memang orang yang jarang untuk menegur sapa kalian, entah kenapa sejak
peristiwa itu aku berhenti untuk tersenyum dan itu berlanjut hingga sekarang”
“Peristiwa apa
itu?”
“Kamu tidak
perlulah tahu, biarlah itu menjadi rahasiaku”
“Justru dengan
kamu menceritakannya kita akan bisa mencarikan solusi terbaik, setidaknya
meringankan rasa luka itu,”
Aku pun
menghela nafas “Baik jika itu maumu,”
Cerita itu
berawal dari rasa suka pada seorang pria yang sangat populer di SMA, sama
seperti remaja-remaja perempuan lainnya, aku merasakan hal yang sama
terhadapnya, ia juga cinta pertamaku. Aku melihatnya saat upacara bendera
dilaksanakan, suaranya yang lantang menjadi komandan upacara, membuatku yang
berada di barisan tengah terkejut dan berusaha untuk melihatnya, dan aku
melihatnya begitu kharismatik dan wajahnya yang oriental sangat membuat orang
betah berlama-lama memandangnya. Tak henti-hentinya mata ini berhenti untuk
memandanginya.
Setiap pagi di
ruang kelas aku selalu memandang ke arah pintu yang terbuka melihatnya bermain
bola bersama teman-temanya atau melihatnya sekeder lewat untuk pergi ke kantin
adalah pemandangan yang aku terima di setiap hariku, tapi tidak ada seorang pun
yang tahu bahkan temanku sendiri pun tidak mengetahuinya. Aku senang ketika
mendengar kabar burung tentang si dia dan pacarnya sudah putus. Aku pun
berusaha keras menyusun rencana untuk mendekatinya, aku mengambil ekstra yang
sama dengannya, seperti PMR, Pramuka, dan bahkan karate juga aku pernah
mengikutinya demi mencari perhatiannya. Tapi aku tak pernah bisa untuk
mendekatinya, rasa cinta yang begitu besar membuatku takut untuk mengatakan
padanya secara terang-terangan. Tapi aku tak tahan lagi menahan rasa ini hingga
pada suatu ketika peristiwa itu pun terjadi.
Sampai pada suatu ketika aku berjalan melewati
lorong-lorong kelas hendak ke kantin dan kebetulan melewati kelasnya, dan pada
saat itu ia bersama teman-temannya sedang nongkrong di depan kelas, dengan
tekad yang kuat aku memberanikan diri untuk tersenyum. Ketika pandangan mereka
mengarah ke kami. lalu aku melihatnya, dan dengan teganya ia membuang muka
menoleh ke samping dengan mengacuhkan senyumku. Saat itu rasanya bagaikan
tersayat-sayat silet tajam. Hingga kami berlalu di hadapan mereka.
“Nah sejak
saat itulah aku kehilangan energi untuk tersenyum lagi. Entah kenapa sejak
kejadian itu berbagai cara untuk menghibur diriku, tapi tidak ada yang
membuahkan hasil. Hingga aku tetap saja seperti ini” berdiri sambil
menghembuskan nafas panjang.
“Jika kamu dipertemukan
dengan dia, apa yang akan kamu lakukan Iba?”
“Aku ingin ia
mengembalikan senyumku. Senyum yang membawa aku pada satu kebahagiaan” sambil
menatap langit.
“Sebenarnya sikap
kamu selama ini salah, percuma dong kamu pakai khimar yang pada hakikatnya untuk menutupi diri agar ada hijab di antara
yang bukan mahrommu, tapi kamu masih hidup dalam bayang-bayang masa lalumu. Menurutku
itu hal wajar Iba, namanya juga masa SMA, kamu harus bisa mengambil hikmah
dibalik peristiwa itu, agar tidak mengumbar senyum pada sembarang orang. Percayalah
teman Allah akan selalu berada di sisi orang yang selalu berusaha untuk
memperbaiki dirinya, kalau boleh tahu orangnya siapa sih”
Telponnya pun berbunyi “bip, bip, bip”
“Sebentar dulu
ya, si Irfan nelpon” ia berlalu meninggalkanku
“Irfan”
pikirku,
“Maaf ya tadi,
ada telepon dari irfan ia ta’arufan denganku”
“Irfan yang
apoteker itu kan”
“Iya, Alhamdulillah
ia sudah bekerja sekarang”
Aku diam
seribu bahasa, mungkin rasa yang tak pernah ia tahu, hingga membuat diri ini
kehilangan senyum Allah titipkan obatnya melalui orang yang akan menjadi
pendamping hidupnya kelak. Aku menatap ke langit malam. Dan aku tersadar bahwa
untuk menyembuhkan luka lama, tidaklah sulit, melainkan kita harus ikhlas dan
dapat mengambil hikmah dari itu semua. Senyum tak pernah salah, hanya yang salah
adalah kondisi yang dipilih saat itu.