Tuah
Terkisahkan
di dua negeri bernama Balai di sebelah Timur dan Karangan di sebelah Barat.
Hiduplah dua pasang anak manusia bernama Dara yang berada di negeri Balai dan
Bujang di negeri Karangan. Kedua negeri itu menggunakan bahasa yang sama hingga
ada sebuah pohon disebut dengan Kayu Tuah, dan ia berada di antara kedua negeri
itu, juga menjadi pembatas kedua negeri, di sanalah mereka menemukan tuah
(keberuntungan).
Di
negeri Timur, terdengar teriakan seorang ibu yang sedang memarahi anaknya,
ialah si gadis bernama Dara, ia sering dimarahi karena kasyikan bermain di
sungai Sekayam, bersama teman-temannya. Pada hari itu ibunya marah besar karena
si Dara tidak mau mendengarkan perkataan ibunya untuk melakukan pekerjaan
rumah.
“Betuah nok, ada anak dara malar nyak nyimpat
merobat bemain, tadi umak nyuruh betopas leseng ah konai nok?” beruntung ya punya anak dara, suka nyeleweng bermain, padahal tadi ibu
menyuruh menyapu ke mana saja telinganya.
Si
Dara hanya terdiam mendengar sang ibu memarahinya, sambil membetulkan kerudung
yang sempat ditarik ibunya dan karena
tidak ingin mendengar ibunya marah-marah lagi, ia pun lari sekencang-kencangnya
menyusuri pinggir sungai.
Sementara
itu di waktu yang sama di negeri Barat si Bujang, yang sering dimarahi orang
tuanya karena sering bermain tanpa mengingat waktu, hingga sore menjelang
dengan sarung yang masih dipakainya juga kopiah yang masih bertenger di kepala,
sang ibu pun memarahinya.
“Ooo Bujang, saja betuah nok baru pulang ke
rumah tu, konai jak ikau nyak? keluar dari rumah melolam pulang dah bahari,
saja memang lah ikau nyak. Bagus empanak jak ikau pulang nyak, cari jak makan
minum ikau senirik” ya ampun Bujang,
beruntung ya, baru pulang ke rumah
sekarang, ke mana saja kamu? Pergi dari rumah pagi pulangnya sore, memang lah
kamu ya. Lebih baik jangan kamu pulang, cari makan minum kamu sendiri.
“Umak nyosar kula, kalau piak kula pogi jak
dari rumah tuk” ibu mengusir saya,
kalau begitu saya akan pergi dari rumah ini.
Bujang
pun pergi dan tidak menghiraukan teriakan ibunya lagi dan berjalan menyusuri
sungai Sekayam. Di negeri Timur, si Dara pun berjalan ke arah Barat hingga ia
melihat sebuah pohon yang tampak seperti layaknya pohon, tapi yang membuatnya
berbeda adalah pohon itu seperti bersinar memancarkan kilauannya hingga membuat
hutan itu bersinar terang. Si Dara pun berjalan menghampirinya dan ia pun
bersandar di bawah pohon itu sambil menangis tersedu-sedu.
Tidak
lama kemudian si Bujang pun melihat cahaya yang berasal dari sebuah pohon yang
tampak bersinar terang, dan ia pun menghampirinya, ia perlahan duduk dan
menyandarkan kepalanya. Tiba-tiba ia heran karena mendengar suara isakan tangis
dari pohon itu.
“Sopay nyak, inang kau nyak ngacau aku segala
antu bangkit” Siapa itu? jangan kamu
menggangu aku hantu, setan!!!”
“Ikau sopay, kula bukan
antu bangkit kula Dara” Kamu siapa? Aku Dara bukan hantu.
“Kula Bujang, jadi ikau
betina yang nungu kayu’ tuk. Ji urang madah ada kayu antara antong Barat dengan
antong Timur, nya mawa tuah teros ada penungu ah, tapi aku ajom pecaya jolu
macam enya’, aku pecaya dengan Allah jak.” Aku Bujang, jadi kamu hantu perempuan
penunggu pohon ini?. kata orang ada pohon antara tempat barat dan tempat timur,
dia membawa keberuntungan terus ada penunggunya, tapi aku tidak percaya hal
seperti itu, aku hanya percaya pada Allah saja.
“Kula buka penungu kayu’ tu bah. Inang-inang
ikau yang antu bangit? Sopay pun ikau, aku nyak bekesah, ngapay umakku malar
ngerota’ aku bemain. Malar nyak becutak jak am, aku ajom gak malar bemarong jak
am, aku udah ngaji baru am aku bemarong, tapi umakku nuduh aku malar nyak
bemain jak ji ah. Kopa aku malar dituduh macam nyak” Aku bukan hantu
penunggu pohon. Jangan-jangan kamu yang hantu? Siapa pun kamu, aku ingin bercerita, kenapa ibuku sering melarang aku
untuk bermain, sering marah saja, aku tidak juga sering bermain, sesudah
mengaji barulah aku bermain, tapi ibuku bilang aku sering bermain saja.
“Sama jak upa nasib ikau dengan aku, umak ku
gak malar becutak dengan aku. Padah ah aku malar nyak bemain, padahal bah aku
malar berlajar ngaji gak, selain nyak aku ngael, tapi mada kala mawa pulang,
kami dah dapat ikan langsung ditunu disia’ am, ari tu umakku bonar-bonar
ngangat am nya” Sama nasib kita
berdua. Ibuku juga sering memarahi aku. Dibilang sering bermain, padahal aku
sering belajar mengaji juga, selain itu aku memancing, tapi tidak membawa
pulang hasilnya, dapat ikan langsung dibakar di situ saja. hari ini ibuku marah
besar.
Secara
tiba-tiba pohon itu tampak bergerak, pohon itu pun bersuara hingga membuat
kedua anak manusia ini kaget.
“Oy anak manusia, aku tuk kayu Tuah, aku sama
macam kitak ciptaan Allah gak, kitak sepatut ah besyukur masih ada umak-apak
lengkap, ajom macam aku senirik am sebatang kara, kalau kitak ngerasa ajom
salah padah baik-baik dengan urang tua nyak. Inang ngelalis, bole ninga omong
orang tua, kalau umak diri nyuruh diri kerja dulu di rumah, kerja tih dulu,
baru bemain, kalau nyak ngaji inang cuman belajar di luar jak, belajar gak di
rumah, kalau kitak piak nyaman kau urang tua ngeliat ah” Oh anak manusia, aku ini kayu beruntung,
aku seperti kalin ciptaan Allah juga, kita seharusnya bersyukur masih ada ibu
dan bapak, tidak seperti aku hanya sendiri dan sebatang kara. Jika kalian merasa
tidak bersalah katakana baik-baik pada orang tua. jangan membangkang, tidak mau
mendengar omongan orang tua, jika ibumu menyuruh mengerjakan pekerjaan rumah
kerjakan dulu, jikan mau mengaji jangan Cuma belajar di luar belajar juga di
rumah juga, jika seperti itu orang tua akan senang melihatnya.
Tiba-tiba
dari arah barat dan timur munculah kedua orang tua dari anak tersebut. dan
mereka pun memeluk putra dan putri mereka, mendengar teriakan dari balik pohon,
mereka pun terkaget bahwa ada orang tua
dengan seorang anak seperti mereka juga. Si dara pun kaget bahwa ada
seorang anak pria, yang bersama dengannya di balik pohon.
“Hah ikau manusia kira tih antu bangkit”
si bujang berkata. Hah kamu manusia,
kirain hantu.
“Inang macam tu’ agik ngelari diri di utan
tu, bahaya apay agik sampai nyak ke negeri seborang” Jangan seperti ini lagi melarikan diri di hutan, bahaya tahu apalagi
sampai ke negeri sebelah.
“Ikau pun peak gak bujang, inang ,macam nyak
agik, upa betina ah gak gaya ah, ngelari diri” Kamu juga begitu bujang, jangan seperti itu lagi, macam perempuan
gayanya, melarikan diri.
Mereka
pun berkata jujur dan berkata yang sebenar benarnya bahwa mereka tidak hanya
bermain saja, melainkan juga belajar ilmu agama dan mereka pun berjanji akan
mendengarkan apa kata orang tua. sehingga permasalahan itu pun dapat
diluruskan.
Si
pohon tuah pun merasa bersyukur dan beruntung karena bisa menasehatkan kedua
anak manusia tadi, dalam pancaran kilauan dirinya ia tampak tersenyum merasakan
tuah yang ia berikan.