Kamis, 28 April 2016

ADA SENDU DI MATA AYA

foto by maya fatmawati

Ada Sendu Di Mata Aya
Seribu kunang-kunang membawa kabar dengan semilir angin yang berhembus lalu pergi begitu saja. Hingga ia berlari mengejar segerombolan kunang-kunang itu tuk menanyakan pesan yang berlalu secara perlahan.
“Ayaaaaaaaaaaaaaa, kamu mau ke mana nak?”
“Aya ingin menangkap kunang-kunang itu bu!”
“mana ada siang bolong kunang-kunang aya, sudah masuk ke dalam”
Aya kecil begitu senang bertindak sesuai dengan instingnya. Bertingkah layaknya anak-anak, tapi memilki imajinasi yang sangat tinggi hingga terkadang membuat orang di sekitarnya tidak percaya padanya. Nasib menyambut baik atas khayalannya tentang keindahan di sekitar yang  membuat orang tercengang. Sekelilingnya terdapat para manula yang sedang memegang kuas mengukir keindahan di atas kanvas, dunianya seakan berputar-putar.
“Aya ayo jalan”
Aya terpaku di jalan itu dan tak memperdulikan apa yang ibunya omongkan
“Aya” ibunya yang sebenarnya ingin marah jadi terdiam melihatnya
“Bu, aya ingin seperti yang kakek itu lakukan”
Di antara para manula itu ada yang mendengar perkataan aya
“Nak kamu mau seperti kakek? Pegang kuas ini terus kamu ikuti apa yang ada di gambar ini” sambil ia memberikan kertas kepada si Aya.
Aya pun langsung menyambut niat baik sang manula itu. Ibunya tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia membiarkan dan menunggu anaknya sampai selesai untuk menggambar.
“Kek kalau sudah besar nanti, aku inginnya seperti kakek menggambar seperti ini” Aya pun menunjuk-nunjuk gambar si kakek
“Iya nak, semoga saja kelak keiinginanmu akan terwujud, tapi kamu harus tahu nak jangan sampai keinginanmu itu akan meracuni dan membuat hidupmu jadi susah ya, karena hal itu pasti akan terjadi”
“Maksudnya kek” aya kecil tak mengerti perkatannya dan si kakek pun hanya tersenyum kecil
***
Tangan perlahan mengukir indah di atas kanvas putih, sambil menerawang dengan insting yang ada. Aya pun menggulung rambutnya mulai untuk berfokus menyelesaikan lukisan saat waktu telah mendekati selesai. Dentingan suara lonceng pun berbunyi pertanda perlombaan itu selesai. Semua peserta pun mengangkat tangan dan berdiri di samping lukisan. Sang juri pun berkeliling menilai satu persatu lukisan si peserta. Tidak perlu menunggu lama, Aya sudah tahu bahwa lukisannya cukup mencuri perhatian para juri. Pengalaman yang membawanya menjadi seorang pelukis lomba yang tak diragukan lagi. Setiap habis lomba ia selalu membawa pulang piala dan menyimpannya di dalam lemari yang hampir tidak cukup lagi.
“Aya, ayahmu sakit nak, dia sekarang di rumah sakit” ibunya memberitahukan hal itu, saat Aya sedang merasa berada di puncak-puncak kemenangan. Kepulangannya ke rumah menyisakan duka di hati dan Aya pun terkejut mendengar hal itu. mereka bergegas pergi ke rumah sakit.
“Ayah, ini aya, maafkan yah, Aya terlalu sibuk sampai-sampai tidak tahu kabar ini.” Aya langsung memeluk sang ayah
“Aya, ini semua gara-gara kamu, ayah sampai sakit begini, dia memikirkanmu nak, kamu membangkang sekali keinginan ayahmu. Sekali-kali berbakti dengerin omongan orang tua jangan jadi pelukis itu saja sudah melegakan kami nak” ibunya pun marah kepada ayah
“Nak, ayah hargai keputusanmu untuk jadi pelukis. Tapi setiap kamu pulang membawa piala ke rumah membuat ayah merasa bersalah kepada Allah karena tidak bisa memberikan kamu pemahaman bahwa melukisitu tidak boleh nak”
“Kenapa yah, separuh hidup Aya sudah berada di dunia itu selama 20 tahun, Aya berlatih dan mengikuti lomba ayah tidak pernah mengucapkan selamat dan ayah juga tidak memberikan alasannya”
“waktu itu kamu masih terlalu kecil dan tidak akan mengerti kenapa ayah bersikap seperti itu. Sekarang kamu sudah mencapai umur sudah 25 tahun dan kamu harus tahu bahwa sebagian orang-orang yang masuk neraka itu adalah pelukis apalagi lukisan itu seperti benda-benda hidup yang sering kamu visualisasikan lewat lukisanmu itu”
Aya tersandar ke dinding tak tahu harus berbuat apa mendengar perkataan ayahnya. Mimpi-mimpinya terasa terkubur dalam-dalam begitu saja. aya tidak bisa berkata apa-apa lagi
“Aya tidak bisa meninggalkan dunia ini bu, yah, tidak bisa!” Aya pun beranjak pergi dari ruang itu
“Kamu harus memilih Aya antara ayahmu atau keinginanmu itu” ibunya pun memberikan pilihan yang membuat Aya berhenti berjalan
Hatinya berdegup kencang, Seluruh badannya berkeringat, dirinya seakan tidak bisa berbicara lagi tapi ia harus memutuskan momentum saat itu juga,
“Ayaaaaaaaaaaa, emmm Ayaaaaaa akan menuruti apa kata ibu dan ayah”
“Alhamdulillah” sebut kedua orang tuanya
Aya berlari sejadi-jadinya menangis tersedu, tapi ia sembunyikan di balik diamnya. Tidak ada sepatah kata pun yang ia ucapkan saat berada di rumah hanya tatapan kosong pada dinding tempat ia bersanar di ruang kamarnya.
“Sya kamu jangan sedih berlarut-larut ini juga untuk kebaikan kamu. Berubahlah nak demi kedua orang tuamu ini. ayah dan ibu tidak tega membiarkanmu meninggalkan dunia lukis begitu saja. Kamu masih ingat dengan kampung seni yang waktu dulu ibu ajak saat kamu berumur 5 tahun terus ada kakek yang lagi menggambar. Kamu ingat tidak apa yang digambarkannya”
“Tidak bu”
“Ia menggambar huruf-huruf al-Quran yang disebut dengan kaligrafi. Di sana ada pesantren dan kamu bisa belajar melukis kaligrafi itu juga kamu belajar agama di sana, gimana?
“Yah kalau itu memang maunya ibu dan ayah, aya akan ikuti”
Kampung seni yang terkenal dengan lukisan-lukisan alam juga kaligrafinya itu menyuguhkan decak kagum di mata Aya. Semua orang yang ia temui di jalan pasti membawa kaligrafi atau lukisan yang sedang di jemur di depan rumahnya seperti pemandangan kota prancis yang bertebaran pelukis jalanan, tetapi bedanya di sini melukiskan keindahan huruf-huruf al-Quran juga pakaian yang mereka kenakan terasa asing bagi Aya, hijab oleh kaum perempuan membuatnya terasa asing dan menjadi pusat perhatian. Ibu yang sedang bertanya di mana alamat pesantren itu pun mengagetkan aya dari lamunan tentang dunia barunya.
“Ay, ayo kita ke arah sana. Mulai sekarang kamu harus berubah seperti para perempuan di sini mengenakan hijab dan memang itu sebenarnya sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslimah seperti kita nak, makanya ibu sering menganjurkanmu memakai hijab itu”
“Iya bu, aya juga ingin hijrah, aya sadar banyak kesalahan yang telah aya lakukan, Aya ingin menembus dosa Aya dengan mendengarkan apa saja kata ayah dan ibu”
“Ayaaaa” ibu memeluk si Aya
Pesanteren itu dihiasi oleh ornamen-ornamen yang indah dari kaligrafi seperti istana putih yang memiliki kekuatan magis yang menyejukan hati. Saat kakinya melangkah melewati gerbang daun berguguran jatuh dari tangkai menyambut kedatangan Aya dan ibunya dan disambut senyum manis dari penjaganya.
Setelah ibunya pulang dan Aya pun memulai kehidupan barunya selama setahun untuk belajar melukis keindahan huruf-huruf al-Quran. Dunia baru yang terasa asing baginya itu banyak mengundang Tanya saat ada kerudung yang ibunya sediakan juga jarum pentul serta bross yang coba ia kenakan di depan cermin.
“Bismillah, ya Allah kuingin menebus semua kesalahanku dengan berhijrah menjadi seorang muslimah yang seutuhnya dan akan belajar melukiskan keindah ayat-ayatmu semoga niatku disambut dengan baik”
Aya pun mulai menajalani hari-harinya dengan kerudung yang menutupi kepalanya belajar membaca dan menulis huruf-huruf alquran satu persatu. Saat ia ingin mencoba melukiskan huruf demi huruf itu terasa susah baginya karena dulunya melukis dengan kuas sekarang berhadapan dengan benda bernama handam seperti pena yang menyerupai canting untuk membatik lalu dicelupkan pada biang warna.
“Aya kamu harus belajar dasarnya dulu, baru kamu bisa seperti teman-temanmu itu, ayo ikut saya” ustadzah jannah pun mengajariku untuk mengaji
“Loh kok mengaji ustadzah, bukannya belajar menggambar huruf arabnya”
“Kamu harus paham dulu makna dari apa yang akan kamu tulis itu, dan itu dimulai dari sini, ibumu juga menyuruh kami mengajarkanmu untuk mengaji baru setelah mengaji saya akan mengajarkanmu untuk menulis huruf demi huruf hijaiyah itu. karena dalam melukiskan ayat al-quran itu jika salah kita menuliskannya maka salah pula maknanya masalah keindahan itu nomor dua yang terpenting itu kamu paham betul apa yang akan kamu tulis”
“Oh begitu ya ustadzah.
Setiap malam Aya tak henti-hentinya  belajar menuliskan huruf dari bentuk hingga lekuk sangat ia pelajari betul-betul juga bacaan al-Quraannya selalu ia latih setiap habis shalat.
“Baiklah ustadzah saatnya untuk mencoba, insya Allah aya siap. Tintanya sudah sip dan jelas kemudian tingkat kemiringan pelatuk pulpen sudah pas dan kumulai dengan menggoreskan basmalah dengan tipe
“Sepertinya kamu menyerupai karya Hasan bin Ahmad Qarahishari, bentuk dan lekukannya itu. yah saya sangat menyukai gayanya dalam menuangkan ide ustadzah”
“Memang begitu seharusnya Aya, kita harus punya panutan agar kita bisa mencontohi kesuksesannya itu”
Aya begitu jatuh cinta pada dunia kaligrafi dan ia membawanya pada suatu gelar baru yaitu khatatah bukan lagi seorang pelukis, meski masih dinilai amatir beberapa kaligrafinya sudah pernah dipasarkan di luar negeri. Menjelang hari selesainya ia belajar dari pesanteren pencetak khatat dan khatatah itu ia semakin menambah jam terbang untuk berlatih dan bereksperiman dengan motif, corak, serta sketsa mengahasilkan sebuah visualisasi huruf-huruf yang indah.
***
come on, come on, oh yes, guys this is really ours success and finally” Danu mengenggam tangan ke atas tanda keberhasilan yang telah dibangunnya bersama tim.
GM (General Manajer) Danu Atmadja adalah panggilannya di kantor, sosok yang memancarkan kharismatiknya saat ia berjalan melewati para pegawai. Kepiawannya dalam bernegosiasi dan manajerial mengantarkannya menduduki jabatan tertinggi di kantor, hal itu didapatkannya bukan tanpa alasan. Semua yang diraihnya dalam usia yang sangat muda tidak ada satupun tersentuh koneksi. keberhasilan yang selalu ia dapatkan selalu ia rayakan dengan berpesta ria bersama rekan kerja dan juga teman-temannya.
Kerlap kerlip lampu dengan alunan musik yang menghentak lengkap dengan DJ (Disk Joker) membuat orang-orang yang berada di dalam ruangan ikut bergoyang sambil membawa minuman memabukan di tangannya begitu juga dengan danu. Ia tampak larut dalam suasana perayaan kemenangan perusahaan dan sekaligus merayakan dirinya menjadi kandidat bursa promosi jabatan. Terpejam matanya sambil berjalan tak tentu arah berjalan menuju parkiran mobil, dengan setengah kesadaran yang ia miliki ia pun menancap gas dan mobil pun melaju.
Gerimis menghampiri subuh membawa suasana syahdu dan berembun. Seperti salju yang jatuh di kulit dan melebur menjadi air yang begitu dingin hingga merasuk ke tulang, Aya pun merentangkan tangannya menikmati nuansa yang terasa romatis baginya, tanpa sadar ia memejamkan matanya  dan ada seperti kilatan cahaya menghampirinya hingga membuat pandangannya tampak gelap.
Danu terdiam tanpa kata ketika ia melihat sosok yang ditabraknya tadi. ia keluar dari dalam mobil melihat darah yang mengalir dari wajahnya. Ia bingung untuk melakukan apa, setelah lama ia pandangi sosok yang tergelatak itu, lalu ia pun pergi meninggalkan orang yang ditabraknya. Seluruh badannya seperti bergetar atas keputusan yang telah dilakukan lama ia mengurung dirinya di kamar mandi.
***
Suara sirene ambulance melaju mengantar sosok yang berbalut kerudung putih penuh dengan darah. Tidak ada kata apalagi gerak yang ada hanyalah para dokter yang bekerjasama dalam ruangan operasi untuk melakukan pertolongan pada sosok Aya. Keluarga dan juga sahabatnya berharap cemas di luar ruang operasi. Dokter pun keluar dari ruang dan semua orang menghampirinya.
“Dokter bagaimana anak saya?”
“Saya ingin bicara dengan orang tuanya”
“Berat saya harus sampaikan pada bapak dan ibu bahwa anak anda tidak dapat kami tolong”
“Maksudnya aya tidak bernafas lagi” ibu dan ayahnya sangat terpukul mendengar pernyataan dokter
“Bukan bu, maksud saya anak ibu tidak dapat melihat lagi akibat benturan benda tajam matanya pun mengalami pendarahan hebat dan tidak segera di bawa ke rumah sakit hingga pertolongan sudah kami lakukan semampunya”
Aya membuka kedua kelopak matanya dan penglihatannya tampak gelap, berkali-kali ia kedipkan matanya namun tidak ada gunanya.
“Yah, bu mata aya kenapa?” 

“ Aya kamu harus tabah ya nak” ibunya pun menangis tanpa bersuara sambil menguatkan aya
“Aya buta bu, bagaimana dengan mimpi-mimpi Aya, rencana Aya, Aya tidak ingin seperti ini bu, aya ingin menjadi seorang khatatah yang hebat bu, tapi kenapa harus itu bu yang hilang dalam diri aya” aya pun tak menahan air matanya begitu histeris hingga pingsan.
“AYAAAAAAAA” ibunya menahan aya yang tak mampu menerima kenyataan itu
***
Suara riuh angin membawa terbang daun-daun kering di taman, Aya duduk di taman menikmati suasanan itu dengan menghirup aroma harum bunga mawar yang bermekaran, raganya tanpa sadar membangunkannya dari tempat duduk dan berjalan sambil merentangkan tangan, dan suasana itu membawanya berjalan hingga ke jalan raya, suara klakson dari jauh terdengar nyaring yang akhirnya berhenti tepat di sampingnya.
“Mbak kalau mau bunuh diri mikir-mikir dong. Bukannya mbak yang masuk penjara, tapi saya mbak”
Aya pun bangun dari tempatnya terjatuh, si Asha sepupunya pun datang menghampiri
“Ya ampun aya kamu tidak apa-apa kan. Mas sepupu saya ini tidak bisa melihat. Tidak semua orang yang ingin menyeberang jalan itu mau bunuh diri”
Danu pun melotot ketika melihat sosok Aya yang pernah ditabraknya dulu. Ia pun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Seluruh tubuhnya gemetaran tapi ia menampakan kesan tenangnya pada mereka.
“Maaf mbak saya tidak tahu apa-apa soal itu. tadi saya habis dari kantor, dan sedang ada masalah jadi emosi saya jadi meluap-luap di sini, sekali lagi saya minta maaf”
“Iya mas, saya juga minta maaf, tadi saya terlalu terbawa suasana angin di taman. Di taman itulah saya selalu merasa ketenangan datang, bisa bantu saya kan ke sana, kalian harus tahu bahwa duduk di taman ini saat semua lelah di sore hari bisa memberikan sebuah rileksasi”
Danu pun menuntun si aya begitu juga asha yang mengiukuti kata aya untuk duduk di bangku taman
“Perkenalkan saya Danu Atmadja, Manajer di High Fashion Departman Store
“Wow jabatan anda keren sekali, pasti rasanya senang ya bisa mencapai puncak jabatan itu, dari suara anda saya bisa menerka umur anda pasti masih di bawah 30 tahun”
“Yah excectly. Sangat tepat. Oh ya perempuan cantik seperti anda pasti juga masih muda kan?”
“Yah, saya ayanun jannah, pangil saja aya. Umur saya memang masih 25 tahun.
“Saya Asha sepupunya, mbak Aya adalah mentor saya dalam membuat kaligrafi”
“Meski tidak bisa melihat keindahan dunia, selama tangan masih bisa mengengam handam dan mengoreskannya dengan penuh keyakinan adalah sebuah keistimewaan yang patut disyukuri. Membagi ilmu merupakan sebuah keharusan agar abadi dan menjadi lebih berkembang juga dapat membawa manfaat bagi banyak orang”
“Handam apa itu?”
“Itu adalah alat serupa pensil tapi itu ia memilik kekhasan sendiri, impianku dari dulu adalah menjadi seorang kaligrafer yang handal bertahun-tahun belajar berusaha membuatnya, tapi semua ini ada hikmahnya juga saya lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarga tidak seperti dulu”
Danu terdiam sejenak, dan ia berpikiran ternyata ia telah membunuh mimpi-mimpi Aya. Rasa yang berkecamuk di dalam hatinya sungguh ia tahan dengan senyuman yang ia tampakan di raut wajahnya”
“Aya sekarang hampir maghrib, kita pulang ya ay”
“Kalau boleh saya akan mengantarkan kalian pulang”
“Oh iya antarkan kami ke masjid saja”
Saat menaiki tangga Danu merasa ketenangan yang membawanya pada rasa penuh penyesalan ia menuju ke ruang wudhu, menyucikan diri, mulai mengingat kenangan baik masa kecil yang selalu mengajarkannya untuk beribadah. Sujudnya pada sang maha Kuasa adalah yang pertama kali setelah puluhan kali. Dalam doanya ia meminta pengampunan dan sejak hari itu hidupnya berubah total, dunia yang telah menyesatkannya ia tinggalkan secara perlahan.
Aya adalah alasan Danu berubah, keseharian untuk memberikan ilmu kepada para anak panti asuhan di dekat masjid menjadi alasan pertemuan mereka setiap hari. Aya menjadi pengajar agama berdua dengan asha yang sangat setia untuk menemaninya. Sementara danu mengajarkan anak-anak di sana untuk mengaji di malam hari setelah ia pulang dari kantor, begitulah seterusnya.
“Ay ada yang mau saya omongkan” saat mereka sedang menuju rumah dan hanya ada danu dan aya
“Iya, mau ngomongin apa?” aya berhayal bahwa danu akan melamarnya
“Sebenarnya sayaaaaaaa” Danu menoleh kepada Aya sangat lama sampai ia lupa bahwa ada tikungan di depan mereka
“YA ALLAH”
***
Kedua kelopak mata indah itu pun membuka katupnya perlahan, hitam dan gelap itu tidak lagi menghalangi pandangannya, dunia dan seisinya tampak jelas semuanya. Kini Aya penglihatannya pun pulih kembali betapa senangnya dia. sebuah keajaiban yang tidak pernah ia duga sebelumnya
“Ibu, ayah, semuanya Aya sudah bisa melihat kembali” aya pun memeluk ibunya
“Iya nak kamu sudah bisa melihat dengan jelas, kamu jaga mata itu baik-baik ya nak, ada surat yang harus kamu baca aya”
Sebuah surat yang menjadi tanda Tanya untuk aya
Jika aku tak sanggup mengatakan yang sejujurnya dan kamu harus tahu yang sebenarnya aya
Aya sebenarnya aku ingin jujur bahwa aku sudah mencintaimu saat kita bertemu untuk yang kedua kalinya. Berat rasanya kukatakan bahwa pertemuan pertama kita adalah waktu kamu ditabrak oleh mobil, dan pelakunya adalah aku. Bertemu denganmu sangat mengubah duniaku yang kelam. Semakin lama kusembunyikan kebenaran itu, semakin pedih dan rasa bersalah saat kulihat wajahmu. Tak sanggup rasanya harus kukatakan ini secara langsung, aku ingin menebus kesalahanku tapi aku tidak tahu caranya, tapi aku harus mengatakan kebenaran itu aya semoga saja kau mau memaafkanku.
Ambisiku dalam dunia kerja tidak dapat dineracakan oleh rasa cintaku padamu, meski kuakui bahwa fluktuasi untuk menyatakan kebenaran itu tidak akan pernah seimbang. Kau adalah aktiva yang tidak akan pernah mengalami penyusutan sedikitpun untukku, maka keharusan bagiku untuk berkata sejujurnya padamu

“Nak itu adalah pesan terakhir dari danu agar memberikannya padamu, dan kami sudah tahu semuanya. Nayawanya tidak bia ditolong lagi dan ia juga meminta untuk mendonorkan matanya kepadamu dan ternyata bisa nak. Mata sendu yang ada pada dirinya kini menjadi milikmu nak, ikhlaskan semua yang telah terjadi aya” aya pun memeluk ibunya sambil menangis tersedu.