Selasa, 03 November 2015

My Journey in Mabah with Hana

kebersamaan ka Ana dan murid-murid SDN 20 Mabah


My Journey in Mabah (Hana and Sari)

Perjalanan yang mengesankan tidak selamanya menyuguhkan pemandangan yang bagus dan indah, tapi  aku percaya setiap tempat menyimpan keindahan meski dalam keterbatasan. Hal tersebut yang dialami saat berkunjung ke desa Mabah. tulisan perjalanan ini Kupersembahkan untuk sahabat dari masa kecil, yaitu Kak Yohana semoga mendapat nilai A untuk PPL-nya. Meskipun kak Yoh pernah melepaskan kesempatan untuk menjadi seorang atlet olahraga, tapi percayalah kak dengan menjadi guru kita akan lebih bermanfaat bagi orang lain dan kita akan merasa lebih bahagia.

Kedatangan ku di desa Mabah bukanlah sebuah kesengajaan melainkan, untuk mengantarkan temanku kak Yoh, yang hendak meninjau lokasi PPL-nya di desa Mabah. Rute perjalanan yang kami lalui adalah melewati desa Balai Karangan menuju Kenaman, kemudian menuju desa Lomur barulah sampai di desa Mabah, jerak tempuh  yang dilalui selama 1 jam lebih.

Jalan yang kami lalui tidaklah mudah karena merupakan desa pedalaman  yang memiliki lobang-lobang besar dan juga krikil besar, bila musim kemarau debu yang pekat sangat banyak bertebaran di jalan-kebetulan kami ke sana pada bulan Agustus. yang pasti jalan  merupakan masalah utama yang selama ini memang dialami setiap daerah yang berada di pelosok.

Sesampai di SDN 20 Mabah, kami pun segera mencari ruang guru. Tapi sempat mengalami kebingungan karena hanya ada 6 kelas ditambah perpustakaan, dan aku mulai berpikir di mana kantor gurunya? setelah ada seorang perempuan setengah baya yang keluar di ruang perpustakaan kami langsung bertanya padanya di mana ruang guru? dan ia langsung mengantarkan kami ke ruang kepala sekolah. Terlihatlah seorang laki-laki paruh baya yang sedang mengetik di laptopnya, setelah kami menjelaskan maksud kedatangan kami ia pun menjelaskan bahwa kehadiran anak ppl dari STKIP-Melawi Entikong ini sangat dinantikan.

Beliau beralasan karena di sana masihlah kurang guru olahraganya, bahkan guru yang spesialis di bidang olahraga pun tidak ada, apalagi prestasi yang masih sangat minim didapatkan oleh anak-anak di sana, hanya pernah satu kali menang juara dua lomba catur tingkat kabupaten. Semantara melihat anak-anak yang tadi bermain sepak bola di lapangan menurutku tidak kalah hebatnya dengan pemain sepak bola di lapangan hijau sesungguhnya, karena sayang tidak ada pelatihnya. Sekolah ini memang baru dibangun beberapa tahun, sehingga itu juga mungkin yang menjadi faktor minimnya prestasi. 

Setelah diberikan data mengenai sekolah kami pun terkejut dari seluruh siswa di sekolah tersebut hanya dua atau tiga orang saja yang beragama Islam, tapi tidak heran memang desa pedalaman di daerah Sanggau kebanyakan merupakan suku dayak dan menganut agama Kristen khatolik sedangkan Islamnya sangatlah minim. Tapi menurut pernyataan kepala sekolah bahwa di situ juga ada guru agama Islam yang juga mengajar beberapa pelajaran lainnya.

Pada saat selesai mewawancarai kepala sekolah. Kami pun keluar dari ruang perpustkaan dan kami hendak mengambil dokumentasi, tapi hanya sedikit saja yang kami dapatkan di karenakan gerombolan babi-babi dari induk sampai anaknya berkeliaran di sekitar sekolah, kami pun memutuskan untuk pulang ke Balai karangan. Perjalanan yang cukup seru menurutku, meskipun aku tinggal di wilayah perbatasan, tapi baru kali ini aku pergi di desa yang kebiasaannya berbeda jauh denganku. Perjalanan ini tak akan aku lupakan seumur hidupku.


Teruntuk sahabatku, Yohana










dokumentasi pada saat ka Ana mengajar pelajaran olahraga di SDN 20 Mabah





dokumentasi pada saat ka Ana mengajar di dalam kelas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar