kebersamaan ka Ana dan murid-murid SDN 20 Mabah
My Journey in Mabah (Hana and Sari)
Perjalanan yang mengesankan tidak selamanya menyuguhkan
pemandangan yang bagus dan indah, tapi
aku percaya setiap tempat menyimpan keindahan meski dalam keterbatasan.
Hal tersebut yang dialami saat berkunjung ke desa Mabah. tulisan perjalanan ini Kupersembahkan untuk sahabat dari masa kecil, yaitu Kak Yohana semoga mendapat nilai A
untuk PPL-nya. Meskipun kak Yoh pernah melepaskan kesempatan untuk menjadi
seorang atlet olahraga, tapi percayalah kak dengan menjadi guru kita akan lebih
bermanfaat bagi orang lain dan kita akan merasa lebih bahagia.
Kedatangan ku di desa Mabah bukanlah sebuah kesengajaan
melainkan, untuk mengantarkan temanku kak Yoh, yang hendak meninjau lokasi
PPL-nya di desa Mabah. Rute perjalanan yang kami lalui adalah melewati desa
Balai Karangan menuju Kenaman, kemudian menuju desa Lomur barulah sampai di
desa Mabah, jerak tempuh yang dilalui selama
1 jam lebih.
Jalan yang kami lalui tidaklah mudah karena merupakan desa
pedalaman yang memiliki lobang-lobang
besar dan juga krikil besar, bila musim kemarau debu yang pekat sangat banyak
bertebaran di jalan-kebetulan kami ke sana pada bulan Agustus. yang pasti
jalan merupakan masalah utama yang
selama ini memang dialami setiap daerah yang berada di pelosok.
Sesampai di SDN 20 Mabah, kami pun segera mencari ruang guru.
Tapi sempat mengalami kebingungan karena hanya ada 6 kelas ditambah
perpustakaan, dan aku mulai berpikir di mana kantor gurunya? setelah ada
seorang perempuan setengah baya yang keluar di ruang perpustakaan kami langsung
bertanya padanya di mana ruang guru? dan ia langsung mengantarkan kami ke ruang
kepala sekolah. Terlihatlah seorang laki-laki paruh baya yang sedang mengetik
di laptopnya, setelah kami menjelaskan maksud kedatangan kami ia pun
menjelaskan bahwa kehadiran anak ppl dari STKIP-Melawi Entikong ini sangat
dinantikan.
Beliau beralasan karena di sana masihlah kurang guru
olahraganya, bahkan guru yang spesialis di bidang olahraga pun tidak ada,
apalagi prestasi yang masih sangat minim didapatkan oleh anak-anak di sana,
hanya pernah satu kali menang juara dua lomba catur tingkat kabupaten.
Semantara melihat anak-anak yang tadi bermain sepak bola di lapangan menurutku
tidak kalah hebatnya dengan pemain sepak bola di lapangan hijau sesungguhnya, karena
sayang tidak ada pelatihnya. Sekolah ini memang baru dibangun beberapa tahun,
sehingga itu juga mungkin yang menjadi faktor minimnya prestasi.
Setelah diberikan data mengenai sekolah kami pun terkejut dari
seluruh siswa di sekolah tersebut hanya dua atau tiga orang saja yang beragama
Islam, tapi tidak heran memang desa pedalaman di daerah Sanggau kebanyakan
merupakan suku dayak dan menganut agama Kristen khatolik sedangkan Islamnya
sangatlah minim. Tapi menurut pernyataan kepala sekolah bahwa di situ juga ada
guru agama Islam yang juga mengajar beberapa pelajaran lainnya.
Pada saat selesai mewawancarai kepala sekolah. Kami pun keluar
dari ruang perpustkaan dan kami hendak mengambil dokumentasi, tapi hanya
sedikit saja yang kami dapatkan di karenakan gerombolan babi-babi dari induk
sampai anaknya berkeliaran di sekitar sekolah, kami pun memutuskan untuk pulang
ke Balai karangan. Perjalanan yang cukup seru menurutku, meskipun aku tinggal
di wilayah perbatasan, tapi baru kali ini aku pergi di desa yang kebiasaannya
berbeda jauh denganku. Perjalanan ini tak akan aku lupakan seumur hidupku.
Teruntuk
sahabatku, Yohana
dokumentasi pada saat ka Ana mengajar pelajaran olahraga di SDN 20 Mabah
dokumentasi pada saat ka Ana mengajar di dalam kelas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar