Senin, 16 November 2015

Salahkan Senyum Ini?


Salahkah Senyum Ini?

Ketika hatiku mulai bergetar sejak pertama melihatmu, aku tak mampu mengendalikan semua rasa yang berkecamuk dalam dada. aku mulai memberanikan diri untuk tersenyum padanya, berharap dia akan membalasnya. Tapi sejak saat itu juga untuk pertama kalinya aku merasakan sakit hati, dia memalingkan wajahnya, bagikan tersengat listrik, terinjak-injak gajah. Tapi dia juga orang yang tak bisa untuk kulupakan, bertahun-tahun lamanya hatiku seperti tersiksa jika memikirkan waktu di mana ia memalingkan wajahnya. Walau kucoba membawa hati ini berlayar jauh darinya.
“Iba, Iba, Ibaaaaa” Kila meneriakiku.
“Hah, ada apa?” aku pun terkejut bukan main.
“Ngelamun terus, lagi ngitung bintang ya. Hahaha. Bercanda aja kok. kamu ada masalah? “ ia duduk di sampingku di teras kos”
Aku tersenyum kecil sambil menghela nafas.
“Baru kali ini lihat kamu tersenyum, kalau boleh jujur ya, kamu tuh orang yang paling jarang tersenyum dan kalau diperhatiin ngelamun kamu tuh udah kelewatan deh. Lama-lama bisa jadi penyakit loh”
“Maaf, aku memang orang yang jarang untuk menegur sapa kalian, entah kenapa sejak peristiwa itu aku berhenti untuk tersenyum dan itu berlanjut hingga sekarang”
“Peristiwa apa itu?”
“Kamu tidak perlulah tahu, biarlah itu menjadi rahasiaku”
“Justru dengan kamu menceritakannya kita akan bisa mencarikan solusi terbaik, setidaknya meringankan rasa luka itu,”
Aku pun menghela nafas “Baik jika itu maumu,”
Cerita itu berawal dari rasa suka pada seorang pria yang sangat populer di SMA, sama seperti remaja-remaja perempuan lainnya, aku merasakan hal yang sama terhadapnya, ia juga cinta pertamaku. Aku melihatnya saat upacara bendera dilaksanakan, suaranya yang lantang menjadi komandan upacara, membuatku yang berada di barisan tengah terkejut dan berusaha untuk melihatnya, dan aku melihatnya begitu kharismatik dan wajahnya yang oriental sangat membuat orang betah berlama-lama memandangnya. Tak henti-hentinya mata ini berhenti untuk memandanginya.
Setiap pagi di ruang kelas aku selalu memandang ke arah pintu yang terbuka melihatnya bermain bola bersama teman-temanya atau melihatnya sekeder lewat untuk pergi ke kantin adalah pemandangan yang aku terima di setiap hariku, tapi tidak ada seorang pun yang tahu bahkan temanku sendiri pun tidak mengetahuinya. Aku senang ketika mendengar kabar burung tentang si dia dan pacarnya sudah putus. Aku pun berusaha keras menyusun rencana untuk mendekatinya, aku mengambil ekstra yang sama dengannya, seperti PMR, Pramuka, dan bahkan karate juga aku pernah mengikutinya demi mencari perhatiannya. Tapi aku tak pernah bisa untuk mendekatinya, rasa cinta yang begitu besar membuatku takut untuk mengatakan padanya secara terang-terangan. Tapi aku tak tahan lagi menahan rasa ini hingga pada suatu ketika peristiwa itu pun terjadi.
 Sampai pada suatu ketika aku berjalan melewati lorong-lorong kelas hendak ke kantin dan kebetulan melewati kelasnya, dan pada saat itu ia bersama teman-temannya sedang nongkrong di depan kelas, dengan tekad yang kuat aku memberanikan diri untuk tersenyum. Ketika pandangan mereka mengarah ke kami. lalu aku melihatnya, dan dengan teganya ia membuang muka menoleh ke samping dengan mengacuhkan senyumku. Saat itu rasanya bagaikan tersayat-sayat silet tajam. Hingga kami berlalu di hadapan mereka.
“Nah sejak saat itulah aku kehilangan energi untuk tersenyum lagi. Entah kenapa sejak kejadian itu berbagai cara untuk menghibur diriku, tapi tidak ada yang membuahkan hasil. Hingga aku tetap saja seperti ini” berdiri sambil menghembuskan nafas panjang.
“Jika kamu dipertemukan dengan dia, apa yang akan kamu lakukan Iba?”
“Aku ingin ia mengembalikan senyumku. Senyum yang membawa aku pada satu kebahagiaan” sambil menatap langit.
“Sebenarnya sikap kamu selama ini salah, percuma dong kamu pakai khimar yang pada hakikatnya untuk menutupi diri agar ada hijab di antara yang bukan mahrommu, tapi kamu masih hidup dalam bayang-bayang masa lalumu. Menurutku itu hal wajar Iba, namanya juga masa SMA, kamu harus bisa mengambil hikmah dibalik peristiwa itu, agar tidak mengumbar senyum pada sembarang orang. Percayalah teman Allah akan selalu berada di sisi orang yang selalu berusaha untuk memperbaiki dirinya, kalau boleh tahu orangnya siapa sih”
Telponnya pun berbunyi “bip, bip, bip”
“Sebentar dulu ya, si Irfan nelpon” ia berlalu meninggalkanku
“Irfan” pikirku,
“Maaf ya tadi, ada telepon dari irfan ia ta’arufan denganku”
“Irfan yang apoteker itu kan”
“Iya, Alhamdulillah ia sudah bekerja sekarang”

Aku diam seribu bahasa, mungkin rasa yang tak pernah ia tahu, hingga membuat diri ini kehilangan senyum Allah titipkan obatnya melalui orang yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Aku menatap ke langit malam. Dan aku tersadar bahwa untuk menyembuhkan luka lama, tidaklah sulit, melainkan kita harus ikhlas dan dapat mengambil hikmah dari itu semua. Senyum tak pernah salah, hanya yang salah adalah kondisi yang dipilih saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar