
foto by maya fatmawati
Ada
Sendu Di Mata Aya
Seribu kunang-kunang
membawa kabar dengan semilir angin yang berhembus lalu pergi begitu saja. Hingga
ia berlari mengejar segerombolan kunang-kunang itu tuk menanyakan pesan yang
berlalu secara perlahan.
“Ayaaaaaaaaaaaaaa,
kamu mau ke mana nak?”
“Aya
ingin menangkap kunang-kunang itu bu!”
“mana
ada siang bolong kunang-kunang aya, sudah masuk ke dalam”
Aya
kecil begitu senang bertindak sesuai dengan instingnya. Bertingkah layaknya
anak-anak, tapi memilki imajinasi yang sangat tinggi hingga terkadang membuat
orang di sekitarnya tidak percaya padanya. Nasib menyambut baik atas
khayalannya tentang keindahan di sekitar yang
membuat orang tercengang. Sekelilingnya terdapat para manula yang sedang
memegang kuas mengukir keindahan di atas kanvas, dunianya seakan
berputar-putar.
“Aya
ayo jalan”
Aya
terpaku di jalan itu dan tak memperdulikan apa yang ibunya omongkan
“Aya”
ibunya yang sebenarnya ingin marah jadi terdiam melihatnya
“Bu,
aya ingin seperti yang kakek itu lakukan”
Di
antara para manula itu ada yang mendengar perkataan aya
“Nak
kamu mau seperti kakek? Pegang kuas ini terus kamu ikuti apa yang ada di gambar
ini” sambil ia memberikan kertas kepada si Aya.
Aya
pun langsung menyambut niat baik sang manula itu. Ibunya tidak bisa berkata
apa-apa lagi, ia membiarkan dan menunggu anaknya sampai selesai untuk
menggambar.
“Kek
kalau sudah besar nanti, aku inginnya seperti kakek menggambar seperti ini” Aya
pun menunjuk-nunjuk gambar si kakek
“Iya
nak, semoga saja kelak keiinginanmu akan terwujud, tapi kamu harus tahu nak
jangan sampai keinginanmu itu akan meracuni dan membuat hidupmu jadi susah ya,
karena hal itu pasti akan terjadi”
“Maksudnya
kek” aya kecil tak mengerti perkatannya dan si kakek pun hanya tersenyum kecil
***
Tangan
perlahan mengukir indah di atas kanvas putih, sambil menerawang dengan insting
yang ada. Aya pun menggulung rambutnya mulai untuk berfokus menyelesaikan
lukisan saat waktu telah mendekati selesai. Dentingan suara lonceng pun
berbunyi pertanda perlombaan itu selesai. Semua peserta pun mengangkat tangan
dan berdiri di samping lukisan. Sang juri pun berkeliling menilai satu persatu lukisan
si peserta. Tidak perlu menunggu lama, Aya sudah tahu bahwa lukisannya cukup
mencuri perhatian para juri. Pengalaman yang membawanya menjadi seorang pelukis
lomba yang tak diragukan lagi. Setiap habis lomba ia selalu membawa pulang piala
dan menyimpannya di dalam lemari yang hampir tidak cukup lagi.
“Aya,
ayahmu sakit nak, dia sekarang di rumah sakit” ibunya memberitahukan hal itu,
saat Aya sedang merasa berada di puncak-puncak kemenangan. Kepulangannya ke rumah
menyisakan duka di hati dan Aya pun terkejut mendengar hal itu. mereka bergegas
pergi ke rumah sakit.
“Ayah,
ini aya, maafkan yah, Aya terlalu sibuk sampai-sampai tidak tahu kabar ini.” Aya
langsung memeluk sang ayah
“Aya,
ini semua gara-gara kamu, ayah sampai sakit begini, dia memikirkanmu nak, kamu
membangkang sekali keinginan ayahmu. Sekali-kali berbakti dengerin omongan
orang tua jangan jadi pelukis itu saja sudah melegakan kami nak” ibunya pun
marah kepada ayah
“Nak,
ayah hargai keputusanmu untuk jadi pelukis. Tapi setiap kamu pulang membawa
piala ke rumah membuat ayah merasa bersalah kepada Allah karena tidak bisa
memberikan kamu pemahaman bahwa melukisitu tidak boleh nak”
“Kenapa
yah, separuh hidup Aya sudah berada di dunia itu selama 20 tahun, Aya berlatih
dan mengikuti lomba ayah tidak pernah mengucapkan selamat dan ayah juga tidak
memberikan alasannya”
“waktu
itu kamu masih terlalu kecil dan tidak akan mengerti kenapa ayah bersikap
seperti itu. Sekarang kamu sudah mencapai umur sudah 25 tahun dan kamu harus
tahu bahwa sebagian orang-orang yang masuk neraka itu adalah pelukis apalagi
lukisan itu seperti benda-benda hidup yang sering kamu visualisasikan lewat
lukisanmu itu”
Aya
tersandar ke dinding tak tahu harus berbuat apa mendengar perkataan ayahnya.
Mimpi-mimpinya terasa terkubur dalam-dalam begitu saja. aya tidak bisa berkata
apa-apa lagi
“Aya
tidak bisa meninggalkan dunia ini bu, yah, tidak bisa!” Aya pun beranjak pergi
dari ruang itu
“Kamu
harus memilih Aya antara ayahmu atau keinginanmu itu” ibunya pun memberikan
pilihan yang membuat Aya berhenti berjalan
Hatinya
berdegup kencang, Seluruh badannya berkeringat, dirinya seakan tidak bisa
berbicara lagi tapi ia harus memutuskan momentum saat itu juga,
“Ayaaaaaaaaaaa,
emmm Ayaaaaaa akan menuruti apa kata ibu dan ayah”
“Alhamdulillah”
sebut kedua orang tuanya
Aya
berlari sejadi-jadinya menangis tersedu, tapi ia sembunyikan di balik diamnya.
Tidak ada sepatah kata pun yang ia ucapkan saat berada di rumah hanya tatapan
kosong pada dinding tempat ia bersanar di ruang kamarnya.
“Sya
kamu jangan sedih berlarut-larut ini juga untuk kebaikan kamu. Berubahlah nak
demi kedua orang tuamu ini. ayah dan ibu tidak tega membiarkanmu meninggalkan
dunia lukis begitu saja. Kamu masih ingat dengan kampung seni yang waktu dulu
ibu ajak saat kamu berumur 5 tahun terus ada kakek yang lagi menggambar. Kamu
ingat tidak apa yang digambarkannya”
“Tidak
bu”
“Ia
menggambar huruf-huruf al-Quran yang disebut dengan kaligrafi. Di sana ada
pesantren dan kamu bisa belajar melukis kaligrafi itu juga kamu belajar agama
di sana, gimana?
“Yah
kalau itu memang maunya ibu dan ayah, aya akan ikuti”
Kampung
seni yang terkenal dengan lukisan-lukisan alam juga kaligrafinya itu menyuguhkan
decak kagum di mata Aya. Semua orang yang ia temui di jalan pasti membawa
kaligrafi atau lukisan yang sedang di jemur di depan rumahnya seperti
pemandangan kota prancis yang bertebaran pelukis jalanan, tetapi bedanya di
sini melukiskan keindahan huruf-huruf al-Quran juga pakaian yang mereka kenakan
terasa asing bagi Aya, hijab oleh kaum perempuan membuatnya terasa asing dan
menjadi pusat perhatian. Ibu yang sedang bertanya di mana alamat pesantren itu
pun mengagetkan aya dari lamunan tentang dunia barunya.
“Ay,
ayo kita ke arah sana. Mulai sekarang kamu harus berubah seperti para perempuan
di sini mengenakan hijab dan memang itu sebenarnya sudah menjadi kewajiban bagi
seorang muslimah seperti kita nak, makanya ibu sering menganjurkanmu memakai
hijab itu”
“Iya
bu, aya juga ingin hijrah, aya sadar banyak kesalahan yang telah aya lakukan,
Aya ingin menembus dosa Aya dengan mendengarkan apa saja kata ayah dan ibu”
“Ayaaaa”
ibu memeluk si Aya
Pesanteren
itu dihiasi oleh ornamen-ornamen yang indah dari kaligrafi seperti istana putih
yang memiliki kekuatan magis yang menyejukan hati. Saat kakinya melangkah
melewati gerbang daun berguguran jatuh dari tangkai menyambut kedatangan Aya
dan ibunya dan disambut senyum manis dari penjaganya.
Setelah
ibunya pulang dan Aya pun memulai kehidupan barunya selama setahun untuk
belajar melukis keindahan huruf-huruf al-Quran. Dunia baru yang terasa asing
baginya itu banyak mengundang Tanya saat ada kerudung yang ibunya sediakan juga
jarum pentul serta bross yang coba ia kenakan di depan cermin.
“Bismillah,
ya Allah kuingin menebus semua kesalahanku dengan berhijrah menjadi seorang
muslimah yang seutuhnya dan akan belajar melukiskan keindah ayat-ayatmu semoga
niatku disambut dengan baik”
Aya
pun mulai menajalani hari-harinya dengan kerudung yang menutupi kepalanya
belajar membaca dan menulis huruf-huruf alquran satu persatu. Saat ia ingin
mencoba melukiskan huruf demi huruf itu terasa susah baginya karena dulunya
melukis dengan kuas sekarang berhadapan dengan benda bernama handam seperti
pena yang menyerupai canting untuk membatik lalu dicelupkan pada biang warna.
“Aya
kamu harus belajar dasarnya dulu, baru kamu bisa seperti teman-temanmu itu, ayo
ikut saya” ustadzah jannah pun mengajariku untuk mengaji
“Loh
kok mengaji ustadzah, bukannya belajar menggambar huruf arabnya”
“Kamu
harus paham dulu makna dari apa yang akan kamu tulis itu, dan itu dimulai dari
sini, ibumu juga menyuruh kami mengajarkanmu untuk mengaji baru setelah mengaji
saya akan mengajarkanmu untuk menulis huruf demi huruf hijaiyah itu. karena
dalam melukiskan ayat al-quran itu jika salah kita menuliskannya maka salah
pula maknanya masalah keindahan itu nomor dua yang terpenting itu kamu paham
betul apa yang akan kamu tulis”
“Oh
begitu ya ustadzah.
Setiap
malam Aya tak henti-hentinya belajar
menuliskan huruf dari bentuk hingga lekuk sangat ia pelajari betul-betul juga
bacaan al-Quraannya selalu ia latih setiap habis shalat.
“Baiklah
ustadzah saatnya untuk mencoba, insya Allah aya siap. Tintanya sudah sip dan
jelas kemudian tingkat kemiringan pelatuk pulpen sudah pas dan kumulai dengan
menggoreskan basmalah dengan tipe
“Sepertinya
kamu menyerupai karya Hasan bin Ahmad Qarahishari, bentuk dan lekukannya itu.
yah saya sangat menyukai gayanya dalam menuangkan ide ustadzah”
“Memang
begitu seharusnya Aya, kita harus punya panutan agar kita bisa mencontohi
kesuksesannya itu”
Aya
begitu jatuh cinta pada dunia kaligrafi dan ia membawanya pada suatu gelar baru
yaitu khatatah bukan lagi seorang pelukis, meski masih dinilai amatir beberapa
kaligrafinya sudah pernah dipasarkan di luar negeri. Menjelang hari selesainya
ia belajar dari pesanteren pencetak khatat dan khatatah itu ia semakin menambah
jam terbang untuk berlatih dan bereksperiman dengan motif, corak, serta sketsa
mengahasilkan sebuah visualisasi huruf-huruf yang indah.
***
“come on, come on, oh yes, guys this is really ours success and finally” Danu
mengenggam tangan ke atas tanda keberhasilan yang telah dibangunnya bersama
tim.
GM
(General Manajer) Danu Atmadja adalah panggilannya di kantor, sosok yang
memancarkan kharismatiknya saat ia berjalan melewati para pegawai. Kepiawannya
dalam bernegosiasi dan manajerial mengantarkannya menduduki jabatan tertinggi
di kantor, hal itu didapatkannya bukan tanpa alasan. Semua yang diraihnya dalam
usia yang sangat muda tidak ada satupun tersentuh koneksi. keberhasilan yang
selalu ia dapatkan selalu ia rayakan dengan berpesta ria bersama rekan kerja
dan juga teman-temannya.
Kerlap
kerlip lampu dengan alunan musik yang menghentak lengkap dengan DJ (Disk Joker)
membuat orang-orang yang berada di dalam ruangan ikut bergoyang sambil membawa
minuman memabukan di tangannya begitu juga dengan danu. Ia tampak larut dalam
suasana perayaan kemenangan perusahaan dan sekaligus merayakan dirinya menjadi
kandidat bursa promosi jabatan. Terpejam matanya sambil berjalan tak tentu arah
berjalan menuju parkiran mobil, dengan setengah kesadaran yang ia miliki ia pun
menancap gas dan mobil pun melaju.
Gerimis
menghampiri subuh membawa suasana syahdu dan berembun. Seperti salju yang jatuh
di kulit dan melebur menjadi air yang begitu dingin hingga merasuk ke tulang, Aya
pun merentangkan tangannya menikmati nuansa yang terasa romatis baginya, tanpa
sadar ia memejamkan matanya dan ada
seperti kilatan cahaya menghampirinya hingga membuat pandangannya tampak gelap.
Danu
terdiam tanpa kata ketika ia melihat sosok yang ditabraknya tadi. ia keluar
dari dalam mobil melihat darah yang mengalir dari wajahnya. Ia bingung untuk
melakukan apa, setelah lama ia pandangi sosok yang tergelatak itu, lalu ia pun
pergi meninggalkan orang yang ditabraknya. Seluruh badannya seperti bergetar
atas keputusan yang telah dilakukan lama ia mengurung dirinya di kamar mandi.
***
Suara
sirene ambulance melaju mengantar sosok yang berbalut kerudung putih penuh
dengan darah. Tidak ada kata apalagi gerak yang ada hanyalah para dokter yang
bekerjasama dalam ruangan operasi untuk melakukan pertolongan pada sosok Aya.
Keluarga dan juga sahabatnya berharap cemas di luar ruang operasi. Dokter pun
keluar dari ruang dan semua orang menghampirinya.
“Dokter
bagaimana anak saya?”
“Saya
ingin bicara dengan orang tuanya”
“Berat
saya harus sampaikan pada bapak dan ibu bahwa anak anda tidak dapat kami tolong”
“Maksudnya
aya tidak bernafas lagi” ibu dan ayahnya sangat terpukul mendengar pernyataan
dokter
“Bukan
bu, maksud saya anak ibu tidak dapat melihat lagi akibat benturan benda tajam
matanya pun mengalami pendarahan hebat dan tidak segera di bawa ke rumah sakit
hingga pertolongan sudah kami lakukan semampunya”
Aya
membuka kedua kelopak matanya dan penglihatannya tampak gelap, berkali-kali ia
kedipkan matanya namun tidak ada gunanya.
“Yah,
bu mata aya kenapa?”
“
Aya kamu harus tabah ya nak” ibunya pun menangis tanpa bersuara sambil
menguatkan aya
“Aya
buta bu, bagaimana dengan mimpi-mimpi Aya, rencana Aya, Aya tidak ingin seperti
ini bu, aya ingin menjadi seorang khatatah yang hebat bu, tapi kenapa harus itu
bu yang hilang dalam diri aya” aya pun tak menahan air matanya begitu histeris
hingga pingsan.
“AYAAAAAAAA” ibunya
menahan aya yang tak mampu menerima kenyataan itu
***
Suara
riuh angin membawa terbang daun-daun kering di taman, Aya duduk di taman
menikmati suasanan itu dengan menghirup aroma harum bunga mawar yang bermekaran,
raganya tanpa sadar membangunkannya dari tempat duduk dan berjalan sambil
merentangkan tangan, dan suasana itu membawanya berjalan hingga ke jalan raya,
suara klakson dari jauh terdengar nyaring yang akhirnya berhenti tepat di
sampingnya.
“Mbak
kalau mau bunuh diri mikir-mikir dong. Bukannya mbak yang masuk penjara, tapi
saya mbak”
Aya
pun bangun dari tempatnya terjatuh, si Asha sepupunya pun datang menghampiri
“Ya
ampun aya kamu tidak apa-apa kan. Mas sepupu saya ini tidak bisa melihat. Tidak
semua orang yang ingin menyeberang jalan itu mau bunuh diri”
Danu
pun melotot ketika melihat sosok Aya yang pernah ditabraknya dulu. Ia pun tidak
bisa berkata apa-apa lagi. Seluruh tubuhnya gemetaran tapi ia menampakan kesan
tenangnya pada mereka.
“Maaf
mbak saya tidak tahu apa-apa soal itu. tadi saya habis dari kantor, dan sedang
ada masalah jadi emosi saya jadi meluap-luap di sini, sekali lagi saya minta
maaf”
“Iya
mas, saya juga minta maaf, tadi saya terlalu terbawa suasana angin di taman. Di
taman itulah saya selalu merasa ketenangan datang, bisa bantu saya kan ke sana,
kalian harus tahu bahwa duduk di taman ini saat semua lelah di sore hari bisa memberikan
sebuah rileksasi”
Danu
pun menuntun si aya begitu juga asha yang mengiukuti kata aya untuk duduk di
bangku taman
“Perkenalkan
saya Danu Atmadja, Manajer di High
Fashion Departman Store”
“Wow
jabatan anda keren sekali, pasti rasanya senang ya bisa mencapai puncak jabatan
itu, dari suara anda saya bisa menerka umur anda pasti masih di bawah 30 tahun”
“Yah
excectly. Sangat tepat. Oh ya
perempuan cantik seperti anda pasti juga masih muda kan?”
“Yah,
saya ayanun jannah, pangil saja aya. Umur saya memang masih 25 tahun.
“Saya
Asha sepupunya, mbak Aya adalah mentor saya dalam membuat kaligrafi”
“Meski
tidak bisa melihat keindahan dunia, selama tangan masih bisa mengengam handam
dan mengoreskannya dengan penuh keyakinan adalah sebuah keistimewaan yang patut
disyukuri. Membagi ilmu merupakan sebuah keharusan agar abadi dan menjadi lebih
berkembang juga dapat membawa manfaat bagi banyak orang”
“Handam
apa itu?”
“Itu
adalah alat serupa pensil tapi itu ia memilik kekhasan sendiri, impianku dari
dulu adalah menjadi seorang kaligrafer yang handal bertahun-tahun belajar
berusaha membuatnya, tapi semua ini ada hikmahnya juga saya lebih sering
menghabiskan waktu bersama keluarga tidak seperti dulu”
Danu
terdiam sejenak, dan ia berpikiran ternyata ia telah membunuh mimpi-mimpi Aya. Rasa
yang berkecamuk di dalam hatinya sungguh ia tahan dengan senyuman yang ia
tampakan di raut wajahnya”
“Aya
sekarang hampir maghrib, kita pulang ya ay”
“Kalau
boleh saya akan mengantarkan kalian pulang”
“Oh
iya antarkan kami ke masjid saja”
Saat
menaiki tangga Danu merasa ketenangan yang membawanya pada rasa penuh
penyesalan ia menuju ke ruang wudhu, menyucikan diri, mulai mengingat kenangan
baik masa kecil yang selalu mengajarkannya untuk beribadah. Sujudnya pada sang
maha Kuasa adalah yang pertama kali setelah puluhan kali. Dalam doanya ia meminta
pengampunan dan sejak hari itu hidupnya berubah total, dunia yang telah
menyesatkannya ia tinggalkan secara perlahan.
Aya
adalah alasan Danu berubah, keseharian untuk memberikan ilmu kepada para anak
panti asuhan di dekat masjid menjadi alasan pertemuan mereka setiap hari. Aya menjadi
pengajar agama berdua dengan asha yang sangat setia untuk menemaninya. Sementara
danu mengajarkan anak-anak di sana untuk mengaji di malam hari setelah ia
pulang dari kantor, begitulah seterusnya.
“Ay
ada yang mau saya omongkan” saat mereka sedang menuju rumah dan hanya ada danu
dan aya
“Iya,
mau ngomongin apa?” aya berhayal bahwa danu akan melamarnya
“Sebenarnya
sayaaaaaaa” Danu menoleh kepada Aya sangat lama sampai ia lupa bahwa ada
tikungan di depan mereka
“YA
ALLAH”
***
Kedua
kelopak mata indah itu pun membuka katupnya perlahan, hitam dan gelap itu tidak
lagi menghalangi pandangannya, dunia dan seisinya tampak jelas semuanya. Kini Aya
penglihatannya pun pulih kembali betapa senangnya dia. sebuah keajaiban yang
tidak pernah ia duga sebelumnya
“Ibu,
ayah, semuanya Aya sudah bisa melihat kembali” aya pun memeluk ibunya
“Iya
nak kamu sudah bisa melihat dengan jelas, kamu jaga mata itu baik-baik ya nak,
ada surat yang harus kamu baca aya”
Sebuah
surat yang menjadi tanda Tanya untuk aya
Jika aku tak sanggup
mengatakan yang sejujurnya dan kamu harus tahu yang sebenarnya aya
Aya sebenarnya aku ingin
jujur bahwa aku sudah mencintaimu saat kita bertemu untuk yang kedua kalinya. Berat
rasanya kukatakan bahwa pertemuan pertama kita adalah waktu kamu ditabrak oleh
mobil, dan pelakunya adalah aku. Bertemu denganmu sangat mengubah duniaku yang
kelam. Semakin lama kusembunyikan kebenaran itu, semakin pedih dan rasa
bersalah saat kulihat wajahmu. Tak sanggup rasanya harus kukatakan ini secara
langsung, aku ingin menebus kesalahanku tapi aku tidak tahu caranya, tapi aku
harus mengatakan kebenaran itu aya semoga saja kau mau memaafkanku.
Ambisiku dalam dunia
kerja tidak dapat dineracakan oleh rasa cintaku padamu, meski kuakui bahwa
fluktuasi untuk menyatakan kebenaran itu tidak akan pernah seimbang. Kau adalah
aktiva yang tidak akan pernah mengalami penyusutan sedikitpun untukku, maka
keharusan bagiku untuk berkata sejujurnya padamu
“Nak
itu adalah pesan terakhir dari danu agar memberikannya padamu, dan kami sudah
tahu semuanya. Nayawanya tidak bia ditolong lagi dan ia juga meminta untuk
mendonorkan matanya kepadamu dan ternyata bisa nak. Mata sendu yang ada pada
dirinya kini menjadi milikmu nak, ikhlaskan semua yang telah terjadi aya” aya
pun memeluk ibunya sambil menangis tersedu.